Pertama kali aku bertemu, sepertinya
aku sudah lama mengenal “dia”, entah karena wajahnya yang familiar atau memang
aku (dulu) pernah mengenal “dia”. Begitulah penilaianku kepada “dia” saat
pertama kenal di kelas I. Entah kenapa “Dia” selalu hadir saat aku merasa
sendiri, saat hati ini merasa sakit, dan saat cinta ini bertepuk sebelah
tangan.
Sebut saja “Dia”, seorang wanita
berjilbab yang berkulit hitam manis dan senyumnya pun juga manis. Jujur, aku
suka melihat “Dia” (hanya sebatas suka) mungkin karena “Dia” punya teman yang
lebih cantik dan aku lebih suka (bahkan Cinta) pada “teman Dia”. Namun, aku
sadar siapalah aku dan siapa “teman Dia”, dalam pikirku ngga mungkin seorang
seperti “teman Dia” mempunyai rasa yang sama seperti perasaanku kepada “teman
Dia”, walaupun aku dan “teman Dia” sangat akrab tapi itu hanyalah sebatas teman
tidak lebih.
Setahun berlalu, aku dan “Dia”
kembali satu kelas tapi tidak dengan “teman Dia”. “teman Dia” memilih jurusan
yang berdeda dengan aku. Mungkin, dengan begitu perasaanku terhadap “teman Dia”
akan hilang dan benar juga setelah satu bulan rasa itu telah pergi walau belum
seluruhnya. Namun aku masih tetap suka kepada “Dia” (masih sebatas suka). Di
tahun ini, ada murid baru dari luar kota. Berkulit putih dan berparas cantik,
sungguh mempesona ciptaan-MU ya Allah. Sekali lagi, nyaliku terlalu kecil untuk
mengutarakan kekagumanku kepada murid baru itu, hati kecilku berkata, “mungkin
murid baru itu hanyalah cinta sesaat, jadi pastilah besok akan hilang”.
Di tahun ketiga, tidak ada lagi
pengacakan kelas. Dan itu artinya, untuk ketiga kalinya aku dan “Dia” satu
kelas. Seperti kata pepatah jawa “Witing tresno jalaran soko kulino”, itu yang
aku rasakan saat itu. Rasa suka yang dulu, kini berubah menjadi sayang. Aku tak
tahu, apakah itu sayang sebenarnya atau hanya sebatas rasa sayang kepada teman
satu perjuangan. Apapun itu, aku merasa nyaman dengan perasaan itu. Rasa sayang
kepada “Dia” semakin menjadi-jadi saat hari-hari terakhir sekolah. Saat itu,
aku ingin mengungkapkan sayang ini kepada “Dia”, tapi aku belum mampu.
Sebulan setelah kelulusan Madrasah Aliyah, aku
jarang sekali bertemu dengan “Dia”, aku selalu memikirkannya, berharap “Dia”
tahu perasaanku. Di tengah kegalauan, hati ini kembali merasakan cinta yang
melebihi rasa sayangku kepada “Dia”. Cinta ini tidak kepada “teman Dia” atau
kepada murid baru itu, tetapi kepada seorang wanita yang umurnya 4 tahun lebih
muda dari aku, wanita itu adalah tetanggaku di rumah sebut saja “teman rumah”.
Cinta itu berawal dari kegiatan sms, dalam smsnya, “teman rumah” selalu curhat
tentang semua masalah-masalahnya mulai dari sekolah, keluarga bahkan masalah
cintanya. Mungkin karena kegiatan sms itu rasa cinta timbul dengan mudah, dan
aku merasa akulah yang paling pantas menemani “teman rumah”ku, akulah yang
paling pantas disamping “teman rumah”ku,
akulah yang paling bisa membuat hati “teman rumah”ku kembali bahagia.
Tepat pada ulang tahunku yang ke
19, aku pergi merantau. Di perantauan aku masih setia mendengar curhatan “teman
rumah”ku. Namun, di bulan kelima
perantauanku aku tak pernah lagi dapat kabar dari “teman rumah”. Di suatu
waktu, aku mencoba menelfon “teman rumah” namun aku kaget karena suara yang ada
di telfon adalah seorang laki-laki. Pikiranku melayang, kegalauan semakin
menjadi-jadi, aku putuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan “teman rumah”ku.
Lagi-lagi, ditengah kegalauan “Dia” kembali hadir. Hatiku berkata, “mungkinkah
ini semua sudah direncanakan?? Tapi, siapa yang merencanakan??”, pertanyaan ini
selalu menghantui diriku, “apakah “Dia” memang jodoh untukku??”. Namun, seperti
biasa “Dia” hilang dalam pikiranku ketika aku kembali merasakan cinta pada
seorang wanita. Kali ini, wanita itu adalah “teman kerja”ku. Benih-benih cinta
mulai tumbuh karena aku sering jalan dengannya dan sesekali mendengar
curhatannya. Aku meyakinkan hati ini agar tidak mencintainya, aku tak ingin
merusak hubungan “teman kerja”ku dengan kekasihnya. Dan aku berhasil, aku mulai
bisa melupakan cinta “teman kerja”ku.
Setahun berlalu aku mencoba
menghubungi “Dia” kembali. Alhamdulillah, “Dia” langsung merespon niatku ini. Walaupun
lewat SMS aku merasa bahagia dan “Dia”pun sepertinya ikut bahagia. Hari berganti
hari, bulan berganti bulan, aku dan “Dia” semakin dekat. Hatiku berkata, semoga
“Dia” memang yang terbaik untukku, dan akan ku akhiri pencarian ini.
Hampir 2 tahun merantau, niat
untuk kuliah tumbuh lagi. Aku ingin menepati janji kepada diriku sendiri dan
kepada “teman rumah”ku. Aku berjanji, aku pergi ke kota selain untuk mencari uang, juga
untuk melanjutkan sekolah. Petaka cinta datang di pertengahan semester 2,
pepatah jawa “Witing tresno jalaran saka kulino” sepertinya memang benar. Walaupun
aku tahu “teman kuliah”ku sudah mempunyai kekasih, tapi virus itu terus
menyebar. Sampai sekarang, saat aku menulis tulisan ini, rasa untuk memiliki “teman
kuliah”ku masih ada.
Kegalauan hati ini semakin
menjadi-jadi, saat aku melihat temanku berdua dengan pacarnya, ada rasa iri
dalam hati. Tapi, siapa yang mau menjadi kekasihku. Apakah “teman Dia”atau “murid
baru” itu, yang keduanya akupun tak tahu sekarang ada dimana. Kepada “teman
rumah”ku, yang saat ini mungkin “teman rumah”ku sedang memikirkan pemilik
hatinya (tapi bukan aku). Kepada “teman kerja”ku, yang aku tahu “teman kerja”ku
mencintai kekasihnya lebih dari apapun dan aku tak mungkin bisa merusak itu. Kepada
“teman kuliah”ku, yang aku masih ragu dengan perasaanku, apakah aku
mencintainya karena setulus hati atau aku mencintainya hanya sebagai adikku dan
aku peduli dengan keadaan “teman kuliah”ku. Ataukah kepada “Dia”, yang selalu
hadir di saat yang tepat , yang bisa mengerti semua keadaanku, tapi aku belum
pernah tahu isi hatinya, aku belum pernah menanyakan tentang perasaan ini
karena aku takut. Takut, jika aku jujur kepada “Dia”, aku tak berani lagi
bertemu dengan “Dia”.
Prinsipku, aku ingin mengucapkan “AKU
CINTA PADAMU” hanya kepada satu wanita dalam seumur hidupku, wanita yang akan
menjadi ibu dari anak-anakku, wanita yang akan menemaniku hingga tua, dan wanita
yang bisa mencintaiku apa adanya. Siapapun wanita itu, baik “Dia”, “Dia” atau “Dia”,
semuanya kan kuserahkan pada-MU ya Allah. Engkaulah penguasa hati semua
makhluk-MU. Karena aku yakin “JODOH DI TANGAN TUHAN”. Semoga Engkau mendengar
curhatanku ini Ya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar